Saturday, February 1, 2014

Karunia Itu Bernama Jokowi

Sabtu, 24 Januari 2014 04:36 WIB | 65989 Views

Kisah Nyata, Kisah Kasih

Karunia Itu Bernama Jokowi



Tanpa Jokowi, kami tak lagi memiliki kebanggaan. Dambaan realisasi perubahan, ada padanya. (Bara-JP)


Jakarta, baranews.co - Zhorro, begitulah dia menjuluki dirinya. Zhorro bukan ahli merangkai kata, tapi Zhorro telah berbagi cerita kasih kepada 362.000 anggota group facebook Relawan Jokowi Presiden 2014, tentang salah satu pengalamannya selama 7 tahun mendampingi Jokowi semasih di Solo.


"Waktu itu kurang lebih jam 7 pagi, Pak Jokowi sudah datang di kantor, tapi kantor belum disapu sama Pak Slamet. Pak Slamet adalah tukang bersih-bersih di kantor, tapi saat itu datangnya terlambat. Sebagai big bos, Pak Jokowi tentu tau keadaan kantor belum bersih.

Tanpa menyuruh anak buah yang lain, tau-tau Pak Jokowi ambil sapu, lalu disapulah kantor.


Tidak lama kemudian Pak Slamet datang. Pucatlah muka Pak Slamet, karena tau big boss yang menyapu. Pak Slamet ketakutan, kalau-kalau dimarahi Pak Jokowi.


Tapi apa yang terjadi?

Pak Jokowi cuma bilang : "Dari mana jam segini baru datang?

Pak Slamet bilang: "Anak saya sakit Pak."

Pak Jokowi cuma menjawab: "yo wis..."

Selanjutnya tanpa banyak omong, Pak Jokowi panggil saya, diajaknya keluar kantor. Ternyata diajak kerumah Pak Slamet, bertiga bersama supir. Seperti ingin membuktikan kebenaran alasan yang disampaikan Pak Slamet.

Ternyata betul, anak Pak Slamet sakit panas, sudah 5 hari. Tanpa banyak omong, anak itu digendong ke mobil oleh Pak Jokowi sendiri, kami bawa ke rumah sakit. Saya disuruh pulang ke kantor naik ojek. Saya juga diminta menyampaikan kabar ke Pak Slamet, kalau anaknya dibawa ke rumah sakit.

Apa yang terjadi? Tatkala saya memberi kabar tersebut ke Pak Slamet, dia malah pingsan. Pak Slamet terharu, saking terharunya jadi pingsan.


Kalau Saat ingat kejadian itu, saya selalu merinding.

Zhorro menghentikan ceritanya, karena airmatanya berlinang, tidak bisa menahan rasa haru dan bangganya pada Pak Jokowi.

Dia memang bagian dari kita, dan kita merasa bagian dari dia. Itu sebabnya, ketika ada yang "mencubit" dia, rasa sakit justru terjadi pada diri kita. (ugp)

Meneg BUMN Kuliah umum 'Ketahanan Energi' (1)

Meneg BUMN Kuliah umum 'Ketahanan Energi' (1)
Dahlan Iskan: Tahu Indonesia dijajah BBM, kok gak berbuat sesuatu?Minggu, 02 Februari 2014 02:13 WIB (8 jam yang lalu)Editor: D Irianto



(Foto: nasmay)Ini cara Dahlan Iskan memberikan kuliah umum kepada Civitas Academica Kampus Surya University, Summarecon, Serpong, Tangerang.


TIDAK masuk akal kalau kita (Indonesia) tidak berusaha mencari solusi masalah energi. Tidak masuk akal kalau kita (Indonesia) tidak gelisah oleh problem ini.

Mencenungkan, rupanya, ungkapan Meneg BUMN Dahlan Iskan (DI) itu. Kalimat itu dilontarkan DI ketika memberikan kuliah umum bertajuk “Ketahanan Energi” di Kampus Surya University, Summarecon, Serpong, Tangerang, belum lama ini.

Baca juga: Serahkan gajinya ke ahli mobil listrik, Dahlan bikin becak listrik dan Pertamina lakukan pengalihan pasokan untuk kurangi gangguan distribusi

Malah, sepertinya tidak cuma mencenungkan ratusan peserta kuliah umum. Sekaligus, seolah mencengangkan dalam kurun waktu panjang.

Mengawali memberi kuliah umum, DI mengajak semua harus menyadari bahwa masalah energi di Indonesia adalah problem yang sangat penting untuk dipecahkan. Dia mengingatkan, tidak ada negara bisa hebat kalau ketahanan energinya buruk.

“Sekarang, banyak negara besar membeli minyak mentah dari Timur Tengah. Tapi, itu tidak untuk dipakai, melainkan disimpan di dalam tanah,” ungkap mantan Dirut PLN ini.

DI menyontohkan, Tiongkok, misalnya, yang membeli minyak mentah dari Timur Tengah. Itu pun tidak untuk dipakai. Untuk apa? Kelak kalau dunia terjadi krisis energi sangat parah, mereka masih punya simpanan. Begitu pun Amerika. Tapi, Idonesia? Energi terkuras habis-habisan. Sekarang, Indonesia sangat kekurangan energi.

“Karena itu, saya sering mengatakan bahwa kita ini sekarang dalam masa penjajahan BBM. Kenapa? Karena kemampuan kita memproduksi BBM tidak sampai 25 persen dari seluruh BBM yang kita perlukan,” ungkap peserta konvensi Capres Demokrat ini.

Sekarang, seandainya Indonesia mampu memproduksi 100 persen BBM yang diperlukan,juga tidak punya minyak mentahnya. Kemampuan produksi minyak mentah kecil sekali. Hanya 800 ribu barel per hari. Sementara pemakaian di Indonesia, 2 juta barel per hari.

“Jadi seandainya Indonesia mampu memproduksi BBM, minyak mentahnya juga tergantung kepada negara lain. Sementara peningkatan jumlah mobil dan sepeda motor saja tiap tahun naiknya luar biasa.”

Lantas, DI bertanya kepada para peserta kuliah umum. “Di Indonesia ini berapa pertambahan sepeda motor setiap tahun? Tidak ada yang tahu? Ya, semua tidak ada yang naik sepeda motor, semua naik pesawat,” canda DI yang disambut geerr hadirin.

Lantas, DI membeberkan, bahwa pertambahan sepeda motor itu satu tahun, 8 juta. Berarti penambahan pemakaian BBM juga sangat besar. Di samping itu, tiap tahun mobil juga bertambah sekitar satu juta.”Karena itu bisa dibayangkan, setiap tahun berapa kita memerlukan BBM?”.

Jadi, lanjut DI, “Coba bandingkan, kemampuan kita memproduksi BMM hanya 800 ribu barel per hari, sedangkan pemakaian BBM kita adalah 2 juta barel per hari.”

DI kembali bertanya, “Bagaimana dong mengatasi masalah kemampuan produksi BBM kita yang hanya seperempat dari kebutuhan kita?”

Menyaksikan hadirin tercengang, DI melanjutkan, “Nah, menurut saya, tidak masuk akal kalau kita tidak berusaha mencari solusi dari masalah ini. Tidak masuk kalau kita tidak gelisah oleh problem ini. Berarti ketergantungan kita luar biasa, seumur hidup. Jadi kalau kita sudah tahu tergantung kepada pihak lain seumur hidup ini, kok kita tidak berusaha mencari solusinya? Menurut saya, ini tidak masuk akal.”

Problem BBM, menurut DI, akan sama dengan problem roti. “Apalagi, anak-anak muda sekarang sukanya makan roti. Roti, mie, roti, mie, terus begitu. Dan mienya mie instan lagi. Sehingga banyak sekali alumni universitas yang secara keilmuan pandainya bukan main, tapi ketika dites kesehatannya, jatuh,” tandas DI, lagi-lagi disambut geerr.

Kemudian DI bercerita waktu masih menjadi Dirut PLN. Dia pernah memutuskan hanya menerima pegawai PLN yang dari jurusan teknik dan IP-nya harus tinggi. Akhirnya, semua didapatkan. “Karena pada umumnya mahasiswa teknik elektro itu pintar-pintar. Tapi, begitu dites kesehatan, jatuh semua.” Mendengar ini, hadirin tampak seperti tidak semua ‘ngeh’.

Karena itu, lanjut DI lagi, diadakan penelitian. Kenapa ini anak-anak yang pintar-pintar ini tidak sehat? Jawabannya apa? “Ternyata ketika Anda semua itu kuliah, andalannya itu mie instan,” kata DI. Kali ini, tawa hadirin lebih serempak.

Setelah menunggu koor tawa selesai, DI melanjutkan, “Dan, malam hari kalau mau belajar supaya tidak ngantuk, minumnya adalah minuman energy seperti Krating Daeng. Itu adalah gabungan dua asupan yang sangat tidak cocok.”

Menurut DI, bukannya tidak boleh makan mie instan dan minum minuman energi. “Yang penting semua harus tahu, nanti ketika anda sudah pintar sekali tapi kesehatannya tidak baik, Anda akan jadi orang yang “useless”. Pintar tapi tidak berguna.”

Lantas, DI menyinggung soal Indonesia beriklim tropis. “Kita kan sudah tahu bahwa negara ini adalah negara tropis. Bukan negara empat musim. Nah, kita tahu tidak bisa menanam gandum. Pengecualiannya hanya satu, kalau nanti ada yang melakukan penelitian dan berhasil menemukan bahwa gandum bisa ditanam di negara tropis.”

Kalau itu tidak bisa ditemukan, menurut DI, Indonesia akan terus tergantung gandum dari Amerika. Kalau generasi mudanya makin suka mie atau roti, ketergantungan akan semakin besar. “Kita tidak bisa menanam gandum. Sementara roti dan mie bahan bakunya gandum. Terus bagaimana ini? Bagaimana menemukan jalan keluarnya? Memecahkannya bagaimana? Siapa yang punya usul?”, tanya DI dengan nada kencang.

“Ini problem sepanjang orang Indonesia masih punya mulut dan punya perut. Kita sudah tahu problem ini seumur hidup, kan seharusnya kita pecahkan,” kata DI.

DI mengaku sekarang sedang mencoba menanam sorgum. Masih dalam tahap percobaan. Tapi, sudah lumayan bisa mensubstitusi. Karena sorgum bisa dicampur gandum dan banyaknya 30 persen. Untuk membuat mie, sudah bisa. Tapi, itu baru menyelesaikan persoalan 30 persen. Belum menyelesaikan seluruh persoalan. Dan persoalan BBM, kata Dahlan, juga begitu. “Karena itu, kenapa selama ini saya ngotot menciptakan mobil listrik, landasannya ya akal sehat. Kita ini seumur hidup akan dijajah BBM. Kalau sudah tahu seumur hidup, kok kita tidak berbuat sesuatu?”, tandas DI bertanya. @Catatan: Nasmay L Anas (ex. wartawan Jawa Pos di Jakarta)