Tuesday, January 28, 2014

Mengapa Jokowi Selalu Jadi "Juara"?


Mengapa Jokowi Selalu Jadi "Juara"?
Senin, 26 Agustus 2013 | 12:49 WIB


TRIBUN JAKARTA/JEPRIMA Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo hadir di kawasan Bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Night dalam rangka gelaran Jakarta Night Festival menjelang perayaan Tahun Baru 2013, Senin (31/12/2012) malam.

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego mengatakan, wajar jika Joko Widodo alias Jokowi selalu menjadi "juara" dalam survei sejumlah lembaga. Terakhir, survei yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan bahwa Jokowi menempati urutan teratas sebagai kandidat capres dengan elektabilitas tertinggi, yaitu 32,5 persen. Angka ini naik 100 persen dari elektabilitas Jokowi saat disurvei pada Desember 2012 lalu, 17,7 persen.

"Popularitas dari seorang calon itu berdasarkan apa yang telah dilakukannya sekarang," kata Indria kepada Kompas.com, Senin (26/8/2013).

Menurutnya, selama menjabat Gubernur DKI Jakarta sejak Oktober 2012, Jokowi membuat gebrakan dengan langkah-langkah nyata yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh kepala daerah lain. Keberhasilan Jokowi menertibkan PKL, membangun rusun, hingga membersihkan waduk, menurutnya, adalah kerja Jokowi yang sudah terbukti.

"Misalnya dalam menertibkan PKL, dia tidak hanya menghabisi kaki lima saja, tapi juga memberikan solusi kepada mereka," katanya.

Dengan keberhasilannya tersebut, menurutnya, warga menilai bahwa Jokowi-lah pemimpin yang mereka inginkan.

Hal serupa diungkapkan oleh pakar psikologi politik UI Hamdi Moloek, saat dihubungi terpisah. Hamdi mengatakan, hasil survei tersebut sangat masuk akal mengingat popularitas dan elektabilitas Jokowi yang semakin hari semakin naik. Popularitas dan elektabilitas, kata dia, menjadi kunci kemenangan Jokowi dalam berbagai survei. Ia dinilai mempunyai popularitas dan elektabilitas yang seimbang.

"Kalau popularitas saja banyak, Rhoma Irama itu populer sekali," kata Hamdi.

Menurut Hamdi, elektabilitas adalah persepsi publik bahwa seseorang pantas untuk dipilih menjadi presiden. Namun, sosok dengan elektabilitas tinggi dengan tingkat popularitas rendah tak akan dikenal.

"Jadi yang seimbang antara popularitas dan elektabilitas itu Jokowi," kata Hamdi.

Jokowi melesat

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan popularitas Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan dengan sosok lainnya mengindikasikan kian menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial. Kesimpulan demikian tampak dari dua hasil survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden—calon pemilih dalam Pemilu 2014—yang terpilih secara acak di 33 provinsi.

KOMPAS Survei terbaru yang dilakukan Kompas menunjukkan tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012.
Hasil survei menunjukkan, semakin besar proporsi calon pemilih yang jelas menyatakan pilihannya terhadap sosok pemimpin nasional yang mereka kehendaki. Sebaliknya, semakin kecil proporsi calon pemilih yang belum menyatakan pilihan dan semakin kecil pula proporsi calon pemilih yang enggan menjawab (menganggap rahasia) siapa sosok calon presiden yang ia harapkan memimpin negeri ini.

Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama: Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya.

Dibandingkan dengan survei pada Desember 2012, ruang gerak penguasaan ke-16 sosok "papan bawah" popularitas ini relatif stagnan, yang menandakan kecilnya peluang lonjakan mobilitas setiap sosok ke papan atas (lihat grafik). Dari kelima sosok yang berada pada papan atas popularitas capres, kemunculan Jokowi sebagai generasi baru dalam panggung pencarian sosok pemimpin nasional menarik dicermati. Ia langsung menempati posisi teratas dengan selisih yang terpaut cukup jauh dengan keempat calon lain yang namanya sudah menasional selama ini.

Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012. Di sisi lain, tingkat penolakan responden terhadap dirinya tampak minim dan semakin kecil. Dari seluruh responden, yang secara ekstrem tidak menghendaki dirinya menjadi presiden hanya di bawah 5 persen.

Sebaliknya, saat ini basis dukungan terhadap Jokowi makin luas. Ia makin diminati oleh beragam kalangan, baik dari sisi demografi, sosial ekonomi, maupun latar belakang politik pemilih. Dari sisi demografi, misalnya, dukungan dari kalangan beragam usia, jenis kelamin, ataupun domisili responden Jawa maupun luar Jawa bertumpu kepadanya.

Sosoknya juga populer tidak hanya bagi kalangan ekonomi bawah, tetapi juga kalangan menengah hingga atas. Ia pun diminati oleh beragam latar belakang pemilih partai politik, tidak hanya tersekat pada para simpatisan PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung. Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik.

Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya.